Syekh Quro (Hasanuddin Bin Yusuf) - Pelopor Pesantren Pertama Di Jawa Barat

 Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat Syekh Quro (Hasanuddin bin Yusuf) - Pendiri Pesantren Pertama di Jawa Barat
Makam Syekh Quro
Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain atau Syeh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah. Menurut naskah Purwaka Caruban Nagari, Syekh Quro adalah seorang ulama.

Menurut Babad Tanah Jawa, pesantren pertama di Jawa Barat adalah pesantren Quro yg terletak di Tanjung Pura, Karawang. Pesantren ini didirikan oleh Syekh Hasanuddin, seorang ulama dari Campa atau yang kini disebut Vietnam, pada tahun 1412 saka atau 1491 Masehi. Karena pesantrennya yg bernama Quro, Syekh Hasanuddin belakangan dikenal dengan nama Syekh Quro. Syekh Quro atau Syekh Hasanuddin adalah putra Syekh Yusuf Sidik.

Dia adalah putra ulama besar Perguruan Islam dari negeri Campa yang bernama Syekh Yusuf Siddik yang masih ada garis keturunan dengan Syekh Jamaluddin Akbar al-Husaini serta Syekh Jalaluddin ulama besar Mekah. Jika di tarik dan di lihat dari silsilah keturunan, Syech Hasanudin atau Syekh Quro masih ada garis keturunan dari Sayidina Husein Bin Saiyidina Ali r.a. menantu dari Nabi Muhammad SAW. dari keturunan Dyah Kirana ( Ibunya Syech Hasanudin atau Syekh Quro ). Selain itu Syech Hasanudin atau Syekh Quro juga masih suadara seketurunan dengan Syech Nurjati Cirebon dari generasi ke – 4 Amir Abdullah Khanudin.


Awal kedatangan

Sebelum berlabuh di Pelabuhan Karawang, Syekh Quro datang di Pelabuhan Muara Jati, daerah Cirebon pada tahun 1338 Saka atau tahun 1416 Masehi. Syech Nurjati mendarat di Cirebon pada tahun 1342 Saka atau tahun 1420 Masehi atau 4 tahun setelah pendaratan Syech Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon. Kedatangan Syech Hasanudin atau Syekh Quro di Cirebon, disambut baik oleh Syahbandar atau penguasa Pelabuhan Muara Jati Cirebon yang bernama Ki Gedeng Tapa.

Maksud dan tujuan kedatangan Syech Hasanudin ke Cirebon adalah bagi menyebarkan ajaran Agama Islam kepada Rakyat Cirebon. Syech Hasanudin ketika di Cirebon, namanya disebut dengan sebutan Syech Mursahadatillah oleh Ki Gedeng Tapa dan para santrinya atau rakyat Cirebon.

Setelah sekian lama di Cirebon, akhirnya misi Syech Hasanudin buat menyebarkan ajaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon rupanya diketahui oleh Raja Pajajaran yang bernama Prabu Angga Larang. Namun disayangkan misi Syech Hasanudin ini oleh Prabu Angga Larang di mengenai dan dilarang, dan kemudian Prabu Angga Larang mengutus utusannya untuk menghentikan misi penyebaran Agama Islam yg dibawakan oleh Syech Hasanudin dan mengusir Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah dari Tanah Cirebon.

Ketika utusan Prabu Angga Larang sampai di Pelabuhan Cirebon, maka utusan itu segera memerintahkan kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah bagi langsung menghentikan dakwah dan penyebaran Agama Islam di Pelabuhan Cirebon. Agar tak terjadi pertumpahan darah, maka oleh Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro perintah yang dibawakan oleh utusan dari Raja Pajajaran Prabu Angga Larang itu disetujuinya, dan Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah seraya berkata kepada utusan Raja Pajajaran Prabu Angga Larang : “ Meskipun dakwah dan penyebaran ajaran Agama Islam ini dilarang, kelak dari keturunan raja Pajajaran akan ada yang menjadi Waliyullah meneruskan perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam ”. Peristiwa ini sontak sangat disayangkan oleh Ki Gedeng Tapa dan para santri atau rakyat Cirebon, karena Ki Gedeng Tapa sangat ingin berguru kepada Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah atau Syekh Quro bagi memperdalam ajaran Agama Islam.

Ketika itu juga Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah pamit kepada Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon buat pergi ke Malaka, maka Ki Gedeng Tapa Muara Jati Cirebon menitipkan anak kandung Putri kesayangannya yang bernama Nyi Subang Larang, buat ikut berlayar bersama Syech Hasanudin atau Syech Mursahadatillah ke Malaka.


Keberadaan di Karawang

Syekh Hasanudin atau Syekh Mursahadatillah berada di Pelabuhan Bunut Kertayasa ( Kampung Bunut Kelurahan Karawang Kulon Kecamatan Karawang Barat Kabupaten Karawang sekarang ini ). Di Karawang dikenal sebagai Syekh Quro karena dia adalah seorang yang hafal Al-Quran (hafidz) dan sekaligus qori yang bersuara merdu. Sumber yang lain mengatakan bahwa Syekh Quro datang di Jawa tepatnya di Karawang pada 1418 Masehi dengan menumpang armada Laksamana Cheng Ho yg diutus Kaisar Cina Cheng Tu atau Yung Lo (raja ketiga jaman Dinasti Ming). Tujuan penting perjalanan Cheng Ho ke Jawa dalam rangka menjalin persahabatan dengan raja-raja tetangga Cina di seberang lautan. Armada tersebut membawa rombongan prajurit 27.800 orang yang salah satunya terdapat seorang ulama yg hendak menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa. Mengingat Cheng Ho seorang muslim, permintaan Syekh Quro beserta pengiringnya menumpang kapalnya dikabulkan. Syekh Quro beserta pengiringnya turun di pelabuhan Pura Dalem Karawang, sedangkan armada Cina melanjutkan perjalanan dan berlabuh di Pelabuhan Muara Jati Cirebon.

Di Kabupaten Karawang pada tahun 1340 Saka (1418 M) mendirikan pesantren dan sekaligus masjid di Pelabuhan Bunut Kertayasa, Karawang Kulon Karawang Barat sekarang, diberi nama Pondok Quro yang artinya tempat buat belajar Al Quran. Syekh Quro adalah penganut Mahzhab Hanafi, yang tiba bersama para santrinya antara yang lain : Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang. Syekh Quro kemudian menikah dengan Ratna Sondari putrinya dari Ki Gedeng Karawang dan lahir seorang putra yg bernama Syekh Akhmad yang menjadi penghulu pertama di Karawang. Syekh Quro juga memiliki salah sesuatu santri yg sangat berjasa dalam menyebarkan ajaran Agama Islam di Karawang yaitu bernama Syech Abdiulah Dargom alias Syech Darugem bin Jabir Modafah alias Syech Maghribi keturunan dari Sayyidina Usman bin Affan r. a. Yang kelak disebut dengan nama Syekh Bentong alias Tan Go. Syekh Bentong memiliki seorang istri yg bernama Siu Te Yo dan beliau mempunyai seorang putri yg diberi nama Siu Ban Ci.

Ketika usia anak Syech Quro dan Ratna Sondari telah beranjak dewasa, akhirnya Syech Quro berwasiat kepada santri – santri yang telah cukup ilmu pengetahuan mengenai ajaran Agama Islam seperti : Syekh Abdul Rohman dan Syekh Maulana Madzkur di tugaskan buat menyebarkan ajaran Agama Islam ke bagian selatan Karawang, tepatnya ke Kecamatan Telukjambe, Ciampel, Pangkalan, dan Tegalwaru sekarang. Sedangkan anaknya Syech Quro dengan Ratna Sondari yg bernama Syech Ahmad, ditugaskan oleh sang ayah meneruskan perjuangan menyebarkan ajaran Agama Islam di Pesantren Quro Karawang atau Masjid Agung Karawang sekarang.

Sedangkan sisa santrinya yang lain yakni Syech Bentong ikut bersama Syech Quro dan Ratna Sondari istrinya pergi ke bagian Utara Karawang tepatnya ke Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang sekarang untuk menyebarkan ajaran Agama Islam dan bermunajat kepada Allah SWT. Di Pulo Bata Syech Quro dan Syech Bentong membuat sumur yang bernama sumur Awisan, kini sumur tersebut masih dipergunakan sampai sekarang.

Waktu terus bergulir usia Syech Quro telah sangat uzur, akhirnya Syech Quro Karawang meninggal dunia dan dimakamkan di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang. Sebelum meninggal dunia Syech Quro berwasiat kepada santri – santrinya berupa : “Ingsun Titip Masjid Langgar Lan Fakir Miskin Anak Yatim Dhuafa”.

Maka penerus perjuangan penyebaran ajaran Agama Islam di Pulo Bata, diteruskan oleh Syech Bentong sampai akhir hayatnya Syech Bentong.

Makam Syech Quro Karawang dan Makam Syech Bentong ditemukan oleh Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha pada tahun 1859 Masehi atau pada abad ke – 19. Raden Somaredja alias Ayah Djiin alias Pangeran Sambri dan Syech Tolha, di tugaskan oleh Kesultanan Cirebon, bagi mencari makam Maha guru leluhur Cirebon yang bernama Syech Quro.

Bukti adanya makam Syech Quro Karawang di Pulo Bata Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang, di perkuat lagi oleh Sunan Kanoman Cirebon merupakan Pangeran Haji Raja Adipati Jalaludin ketika berkunjung ke tempat itu dan surat, penjelasan sekaligus pernyataan dari Putra Mahkota Pangeran Jayakarta Adiningrat XII Nomor : P-062/KB/PMPJA/XII/11/1992 pada tanggal 05 Nopember 1992 yang di tunjukan kepada Kepala Desa Pulokalapa Kecamatan Lemahabang Kabupaten Karawang.


Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Pamanah Rasa

Setelah beberapa waktu berada di pelabuhan Karawang, Syekh Hasanuddin menyampaikan dakwahnya di musholla yg dibangunnya dengan penuh keramahan. Uraiannya tentang agama Islam mudah dipahami, dan gampang pula untuk diamalkan, karena ia bersama santrinya segera memberi contoh. Pengajian Al-Qur’an memberikan daya tarik tersendiri, karena ulama besar ini memang seorang Qori yang merdu suaranya. Oleh karena itu setiap hari banyak penduduk setempat yang secara sukarela menyatakan masuk Islam.

Berita mengenai dakwah Syeh Hasanuddin (yg kemudian lebih dikenal dengan nama Syekh Quro) di pelabuhan Karawang rupanya telah terdengar kembali oleh Prabu Angga Larang, yang dulu pernah melarang Syekh Quro sedang kegiatan yang sama tatkala mengunjungi pelabuhan Muara Jati Cirebon. Sehingga ia langsung mengirim utusan yg dipimpin oleh sang putra mahkota yg bernama Raden Pamanah Rasa untuk menutup Pesantren Syekh Quro. Namun tatkala putra mahkota ini tiba di tempat tujuan, rupanya hatinya tertambat oleh alunan suara merdu ayat-ayat suci Al-Qur’an yang dikumandangkan oleh Nyai Subang Larang. Putra Mahkota (yg setelah dilantik menjadi Raja Pajajaran bergelar Sri Baduga Maharaja atau Prabu Siliwangi) itu pun mengurungkan niatnya buat menutup Pesantren Quro, dan tanpa ragu-ragu menyatakan isi hatinya untuk memperistri Nyi Subang Larang yg cantik itu dan halus budinya.

Lamaran tersebut rupanya diterima oleh Nyai Subang Larang dengan syarat mas kawinnya haruslah berupa “Bintang Saketi Jejer Seratus”, yaitu simbol dari “tasbih” yang berada di Negeri Makkah.

Sumber yang lain menyatakan bahwa hal itu yaitu kiasan bahwa sang Prabu haruslah masuk Islam, dan patuh dalam melaksanakan syariat Islam. Selain itu, Nyai Subang Larang juga mengajukan syarat, agar anak-anak yg akan dilahirkan kelak haruslah ada yg menjadi Raja. Semua hal tesebut rupanya disanggupi oleh Raden Pamanah Rasa, sehingga beberapa waktu kemudian pernikahan pun dilaksanakan, bertempat di Pesantren Quro (atau Mesjid Agung Karawang sekarang) dimana Syekh Quro sendiri bertindak sebagai penghulunya.

Raden Pamanah Rasa dan Nyai Subang Larang dikaruniai 3 orang putra yg bernama :
  1. Raden Walangsungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Yang lahir pada tahun 1345 Saka atau tahun 1423 Masehi ).
  2. Nyi Mas Rara Santang atau Syarifah Muda’im ( Yang lahir pada tahun 1348 Saka atau tahun 1426 Masehi ).
  3. Raja Sangara atau Raden Kian Santang ( Yang lahir pada tahun 1350 Saka atau tahun 1428 Masehi ).
Ketika anak-anak Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa telah menginjak usia dewasa dan sudah memperoleh bimbingan dari Waliyullah Syech Quro, maka ketiga anak-anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa itu ditugaskan oleh Syech Quro buat lebih memperdalam lagi ajaran Agama Islam ke Pelabuhan Cirebon bagi berguru kepada Syech Nurjati Cirebon.

Setelah cukup mendapatkan bimbingan dari Syech Nurjati Cirebon, maka ketiga anak-anak dari Nyi Subang Larang dengan Raden Pamanah Rasa diberitugas oleh Syech Nurjati Cirebon, adik bungsu dari Nyi Mas Rara Santang dan Raden Walasungsang yang bernama Raden Sangara atau Raden Kian Santang bertugas menyebarkan dan mengajarkan ajaran Agama Islam di Barat Cirebon yakni ke wilayah Limbangan Kabupaten Garut, sedangkan Nyi Mas Rara Santang bersama kakaknya Raden Walasungsang ditugaskan buat berhaji dan sebelum berhaji disarankan terlebih lalu menemui Syekh Ibrahim di Campa buat mendapatkan bimbingan.

Ketika setelah mendapatkan bimbingan dari Syech Ibrahim, maka Raden Walasungsang dan Nyi Mas Rara Santang ditugaskan buat melanjutkan perjalanannya ke Mekah. Selama di Mekah, keduanya tinggal di pondok Syech Bayanullah, adik Syekh Nurjati dan berguru kepada Syekh Abuyazid.

Setelah selesai melaksanakan ibadah haji, maka kakanya Nyi Mas Rara Santang yang bernama Raden Walasungsang dipersunting oleh Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu di Mekah, sedangkan adiknya yg bernama Nyi Mas Rara Santang saat di Mekah dipersunting oleh raja Mesir yang bernama Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah.

Kemudian setelah berhaji, Raden Walasungsang beserta istrinya Nyi Indang Geulis atau Endang Ayu pulang ke negeri Caruban atau Cirebon, sedangkan adiknya yg bernama Nyi Mas Rara Santang di bawa oleh suaminya ke negeri Mesir.

Nyi Mas Rara Santang setelah menikah dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah namanya diganti menjadi Syarifah Muda’im. Hasil dari pernikahan antara Nyi Mas Rara Santang dengan Maulana Sultan Mahmud atau Syarif Abdullah, dikaruniai 2 orang anak yakni :
  1. Syarif Hidayatullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1372 Saka atau tahun 1450 Masehi ).
  2. Syarif Nurullah ( Lahir di Mesir pada tahun 1375 Saka atau tahun 1453 Masehi ).
Waktu selalu berganti, setelah Syarif Abdullah ayahnya Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah meninggal dunia, maka jabatan Sultan Mesir diserahkan kepada Syarif Nurullah, sedangkan Syarif Hidayatullah dan ibundanya yg bernama Nyi Mas Rara Santang meneruskan menimba ilmu agama Islam dari ulama Mekah dan Bagdad. Setelah cukup menimba ilmu Agama Islam, tepatnya pada tahun 1397 Saka atau tahun 1475 Masehi Syarif Hidayatullah bersama ibundanya pulang ke Negeri Caruban atau Cirebon bermaksud buat menyebarkan Agama Islam dan bertemu kepada Eyang dan Uwaknya Syarif Hidayatullah yakni kepada Ki Gedeng Tapa ( Eyang Syarif Hidayatullah ) dan Raden Walasungsang atau Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat ( Uwak Syarif Hidayatullah ).

Sesampainya di Pelabuhan Muara Jati Cirebon, mereka disambut baik oleh Ki Gedeng Tapa yg yaitu Eyangnya Syarif Hidayatullah dan Raden Walasungsang yg merupakan Uwaknya Syarif Hidayatullah, pada waktu itu Raden Walasungsang menjadi Penguasa Cirebon yang bergelar Pangeran Cakrabuana atau Cakraningrat. Akhirnya setelah lama di Cirebon Syarif Hidayatullah mendapatkan bimbingan dan arahan dari Ki Gedeng Tapa dan Raden Walasungsang untuk menjadi Santri Baru guna menimba lebih dalam lagi ilmu dan memperdalam Agama Islam ke Paguron Gunung Jati di Pasambangan Jati yg dipimpin oleh Syech Nurjati Cirebon.

Waktu selalu bergulir setelah memperdalam Agama Islam di Paguron Gunung Jati Syech Nurjati Cirebon, Syarif Hidayatullah menerima wejangan-wejangan yg berharga dari Syekh Nurjati yakni : ”Ketahuilah bahwa nanti di zaman akhir, banyak orang yg terkena penyakit. Tiada seorangpun yg mampu mengobati penyakit itu, kecuali dirinya sendiri karena penyakit itu terjadi akibat perbuatannya sendiri. Ia sembuh dari penyakit itu, kalau ia melepaskan perbuatannya itu.

Dan ketahuilah bahwa nanti di akhir zaman, banyak orang yang kehilangan pangkat keturunannya, kehilangan harga diri, tak mempunyai sifat malu, karena dalam cara mereka mencari penghidupan sehari-hari tak baik dan kurang berhati-hati. Oleh karena itu sekarang engkau jangan tergesa-gesa mendatangi orang-orang yg beragama Budha.

Baiklah engkau sekarang menemui Sunan Ampel di Surabaya terlebih dahulu dan mintalah fatwa dan petunjuk dari beliau untuk bekal usahamu itu. Ikutilah petunjuk beliau, karena pada ketika ini di tanah Jawa baru ada beberapa orang tokoh dalam soal keislaman, ialah Sunan Ampel di Surabaya dan Syech Quro di Karawang. Mereka berdua masing-masing menghadapi Ratu Budha, yakni Pajajaran Siliwangi dan Majapahit. Maka telah sepatutnyalah sebelum engkau bertindak, datanglah kepada beliau terlebih dahulu. Begitulah adat kami orang Jawa harus saling menghargai, menghormati antara golongan tua dan muda.

Selain itu, dalam usahamu nanti janganlah kamu meninggalkan beberapa jenis sembahyang sunah, yaitu sunah duha dan sunah tahajud. Di samping itu, engkau tetap berpegang teguh pada empat masalah, yakni syare’at, hakekat, tarekat, dan ma’rifat, serta wujudkanlah atau bentuklah masyarakat yang Islamiyah”.

Waktu selalu berganti, saat Syech Nurjati meninggal dunia maka pemimpin Paguron Gunung Jati dipimpin oleh anak bungsunya Syech Nurjati Cirebon yang bernama Syekh Datuk Khafid.

Hari berganti hari tahun berganti tahun, usia Syekh Datuk Khafid telah sangat uzur, maka kedudukan atau pimpinan Paguron Gunung Jati digantikan atau di pimpin oleh Syarif Hidayatullah. Ketika menggantikan kedudukan pimpinan Paguron Gunung Jati sebagai guru dan da’i di Amparan Jati Syarif Hidayatullah diberi julukan Syekh Maulana Jati atau disingkat Syekh Jati.

Paguron Gunung Jati yang di pimpin oleh Syarif Hidayatullah ternyata berkembang pesat, banyak santri-santri di luar Cirebon buat bersantri atau berguru di Paguron Gunung Jati. Perkembangan ini terus berlanjut tatkala Syarif Hidayatullah menggantikan uwaknya yakni Raden Walasungsang yang usianya sudah sangat uzur bagi memimpin Kerajaan Cirebon.

Ketika memimpin Kerajaan Cirebon Syarif Hidayatullah diberi gelar Susuhunan atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah setelah memimpin Kerajaan atau Kesultanan Cirebon, ia menikah dengan Nyai Kawunganten adik dari Bupati Banten. Dari pernikahan antara Syarif Hidayatullah dengan Nyai Kawunganten, dikaruniai 2 orang putra, yaitu :
  1. Ratu Wulung Ayu.
  2. Maulana Hasanuddin, yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Pada tahun tahun 1402 Saka atau tahun 1480 Masehi atau semasa dengan Wali Songo Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon, membangun sebuah Masjid yg bernama Masjid Sang Cipta Rasa. Masjid ini dibangun atas kerja sama antara Sunan Gunung Jati dengan Sunan Kalijaga. Nama masjid ini diambil dari kata " Sang " yg bermakna keagungan, " Cipta " yg berarti dibangun, dan " Rasa " yg berarti digunakan. Masjid Agung Sang Cipta Rasa terletak di sebelah utara Keraton Kasepuhan. Masjid ini terdiri dari beberapa ruangan, merupakan beranda dan ruangan penting. Untuk menuju ruangan utama, terdapat sembilan pintu, yang melambangkan Wali Songo. Masyarakat Cirebon tempo dulu terdiri dari berbagai etnik. Hal ini dapat dilihat pada arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang memadukan gaya Demak, Majapahit, dan Cirebon.


Keterkaitan Syekh Quro dengan Raden Patah

Menurut Babad Tanah Jawi, Raden Patah adalah putra Brawijaya raja terakhir Majapahit (versi babad) dari seorang selir Cina. Selir Cina ini puteri dari Kyai Batong (alias Tan Go Hwat). Karena Ratu Dwarawati sang permaisuri asal dari Campa merasa cemburu, Brawijaya terpaksa memberikan selir Cina kepada putra sulungnya, yaitu Arya Damar bupati Palembang. Setelah melahirkan Raden Patah, putri Cina dinikahi Arya Damar (alias Swan Liong), melahirkan Raden Kusen (alias Kin San).

Menurut Purwaka Caruban Nagari, nama asli selir Cina adalah Siu Ban Ci, putri Tan Go Hwat dan Siu Te Yo dari Gresik. Tan Go Hwat merupakan seorang saudagar dan juga ulama bergelar Syekh Bentong (alias Kyai Batong) santrinya Syekh Quro.

Karawang pada masa Islam juga yaitu kawasan utama. Pelabuhan Caravam yg sudah eksis sejak masa Kerajaan Sunda sepertinya selalu berperan hingga masa Islam. Salah satu situs arkeologi dari masa Islam di Karawang adalah makam Syekh Quro. Menurut tulisan yang tertera pada panil di depan komplek makam, Nama lengkap Syekh Quro adalah Syekh Qurotul Ain


Keterkaitan Syekh Quro dengan Syekh Nurjati

Syekh Quro merupakan utusan Raja Campa. Secara geneologis, Syekh Quro dan Syekh Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi adalah sama-sama saudara seketurunan dari Amir Abdullah Khanudin generasi keempat. Syekh Quro tiba terlebih dahulu ke Amparan Jati pada tahun 1338 Saka atau pada tahun 1416 Masehi.

Pada ketika pendaratannya yg kedua di Karawang Syekh Quro tiba ke Karawang bersama para santrinya yakni Syekh Abdul Rohman, Syekh Maulana Madzkur, dan Nyai Subang Larang yg ikut berlayar bersama rombongan dari angkatan laut Cina dari Dinasti Ming yang ketiga dengan Kaisarnya, Yung Lo (Kaisar Cheng-tu). Armada angkatan laut tersebut dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Tay Kam. Mereka seluruh telah masuk Islam. Armada tersebut hendak melakukan perjalanan melawat ke Majapahit dalam rangka menjalin persahabatan. Ketika armada tersebut sampai di Pelabuhan Pura Dalem Karawang, Syekh Quro (Syekh Hasanudin) beserta pengiringnya turun. Syekh Quro pada akhirnya tinggal dan menyebarkan ajaran agama Islam di Karawang. Kedua tokoh ini dipandang sebagai tokoh yg mengajarkan Islam secara formal yang pertama kali di Jawa Barat. Syekh Quro di Karawang dan Syekh Nurjati di Cirebon. Selain itu pada masa hidupnya antara Syekh Quro dan Syekh Nurjati menjalin persahabatan sampai sekarang ini diantaranya yaitu :
  1. Syech Quro Karawang mengirimkan orang kepercayaannya yg bergelar Penghulu Karawang ke Dukuh Pasambangan buat menjalin persahabatan.
  2. Ratna Sondari ( Puteri Ki Gedeng Karawang ) atau istrinya Syech Quro Karawang memberikan sumbangan hartanya buat mendirikan sebuah masjid di Gunung Sembung ( Nur Giri Cipta Rengga ) yg bernama Masjid Dog Jumeneng atau Masjid Sang Saka Ratu.
  3. Syech Abdiulah Dargom alias Syech Darugem alias Syech Bentong dan Syech Bayanullah ( Adiknya Syech Nurjati Cirebon ) setelah menunaikan ibadah haji, mereka ( Syech Bayanullah dan Syech Bentong ) mendirikan Pesantren Quro di Desa Sidapurna Kabupaten Kuningan Jawa Barat sekarang.
  4. Cucunya Syech Ahmad dari Nyi Mas Kedaton yg bernama Musanudin, kelak Musanudin menjadi Lebai atau pemimpin Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon pada masa pemerintahan Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Sedang Syech Ahmad itu sendiri merupakan anak dari Syech Quro Karawang dengan Ratna Sondari  putri Ki Gedeng Karawang.
  5. Pengangkatan juru kunci di situs makam Syech Quro dikuatkan oleh pihak Keraton Kanoman Cirebon.
Sumber: Wikipedia

Posting Komentar

© Suka Sejarah. All rights reserved. Developed by Jago Desain