Biografi Kasman Singodimedjo

Menteri Muda Kehakiman Kabinet Amir Sjarifuddin II  Biografi Kasman Singodimedjo
Mr. Kasman Singodimedjo
Loka Lahir: Purworejo, Jawa Tengah
Lepas Lahir: 25 Februari 1904
Meninggal: Jakarta, 25 Oktober 1982 (umur 78 tahun)

Karir :
Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)
Jaksa Agung Indonesia (1945-1946)
Menteri Muda Kehakiman Kabinet Amir Sjarifuddin II (11 November 1947 - 29 Januari 1948)

Jabatan Dalam Kabinet:
Menteri Muda Kehakiman dalam kabinet Amir Sjarifuddin II masa kerja 11 November 1947 - 29 Januari 1948
Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung Indonesia periode 1945 sampai 1946 dan juga mantan Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Sjarifuddin II. Selain itu ia juga adalah Ketua KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang menjadi cikal bakal dari DPR.

Mr. Kasman Sinodimedjo sejak masa mudanya yaitu figur yg memiliki semangat belajar tinggi. Sejak sebelum mendapat gelar sarjana di bidang hukum, Kasman muda adalah sosok yg belajar ilmu agama, ilmu ketatanegaraan, dan pengetahuan umum secara otodidak melalui berbagai literatur yg di bawa oleh teman-teman seperjuangannya dari luar negeri.

Kasman Singodimedjo sudah aktif dalam organisasi Muhammadiyah sejak masa mudanya dan mengenal secara dekat tokoh-tokoh besar Muhammadiyah seperti KH. Ahmad Dahlan dan Ki Bagus Hadikusumo. Selain itu sejak 1935, ia telah aktif dalam perjuangan pergerakan nasional, terutama di Bogor yg sekarang markasnya menjadi Museum Perjuangan Bogor.

Pada 1938, Kasman Singodimedjo ikut membentuk Partai Islam Indonesia di Surakarta bersama KH Mas Mansur, Farid Ma’ruf, Soekiman, dan Wiwoho Purbohadidjoyo. Pada Muktamar 7 November 1945 Kasman terpilih menjadi Ketua Muda III Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Pengurus lain pada saat itu adalah KH Hasjim Asjari (Ketua Umum), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Muda I), KH Wahid Hasjim (Ketua Muda II), Mr. Moh. Roem, M. Natsir, dan Dr. Abu Hanifah.

Peran dan pemikiran Kasman Singodimedjo berkembang dalam tempaan tokoh-tokoh besar pada ketika ia bergabung dengan organisasi Jong Islamieten Bond (JIB). Dalam organisasi tersebut, ia berhubungan dengan tokoh-tokoh seperti KH Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, KH Ahmad Dahlan, Syeikh Ahmad Surkati, Natsir, Roem, Prawoto, dan Jusuf Wibisono. Karena aktivitas politiknya, pada Mei 1940 Kasman ditangkap dan ditahan oleh pemerintahan penjajah Belanda.

Pada masa pendudukan Jepang, Kasman menjadi Komandan PETA Jakarta. Kasman yaitu salah satu tokoh yang berperan dalam mengamankan pelaksanaan upacara pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945 dan pertemuan umum IKADA. Setelah proklamasi, Mr. Kasman Singodimedjo diangkat menjadi anggota PPKI sebagai anggota yg ditambahkan oleh Soekarno untuk mengubah sifat lembaga ini yang semula adalah bentukan Jepang. Anggota yg ditambahkan selain Mr. Kasman Singodimedjo adalah Wiranatakoesoemah, Ki Hajar Dewantara, Sajuti Melik, Mr. Iwa Koesoema Soemantri, dan Mr. Achmad Soebardjo. Dengan demikian anggota PPKI bertambah menjadi 27 orang dari jumlah semula 21 orang.

Pada ketika menjelang pengesahan UUD 1945 terjadi permasalahan terkait dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mulai menjadi Pembukaan UUD 1945. Perwakilan kawasan Indonesia timur menyatakan keberatan terhadap tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”. Mengingat bahwa Piagam Jakarta tersebut merupakan hasil kesepakatan yang sudah dicapai dalam persidangan BPUPK, tentu tak bisa dengan mudah dilakukan perubahan. Oleh karena itu dibutuhkan persetujuan, terutama dari tokoh Islam. Diantara tokoh Islam yang mempertahankan tujuh kata tersebut adalah Ki Bagus Hadikusumo. Beberapa sumber menyatakan yg berperan dimintai tolong oleh Soekarno buat melobi Ki Bagus Hadikusumo agar menyetujui penghapusan tujuh kata tersebut adalah Mr. Kasman Singodimedjo.

Kedap PPKI 18 Agustus 1945 menghasilkan beberapa keputusan penting, yaitu (1) memutuskan UUD 1945; (2) memilih Kepala Negara dan Wakil Kepala Negara; (3) menentukan pembagian wilayah Indonesia; (4) membentuk departemen pemerintahan; (5) membentuk BKR; dan (6) membentuk Komite Nasional.

Pada hari itu, Mr. Kasman bersama dengan Daan Jahya, Oetarjo, Islam Salim, Soebianto Djojohadikusumo, Soeroto Kunto, Eri Sudewo, Engelen, Soeyono Martosewoyo, menghadap Kepala Negara Soekarno dan Wakil Presiden Hatta bagi membahas organisasi ketentaraan Indonesia. Diputuskan organisasi tersebut terdiri dari jajaran PETA dan tenaga paramiliter serta eksponen perorangan Heiho dan KNIL. Jajaran PETA terdiri atas 80.000 pasukan dan 400.000 tenaga paramiliter. Akhirnya, pada 23 Agustus 1945, dengan Dekrit Presiden, dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) sebagai organisasi ketentaraan Indonesia. Sebagai Ketua BKR Pusat ditetapkan mantan Komando Batalyon PETA Jakarta, Mr. Kasman Singodimedjo, Kepala Staf BKR Daan Jahya, dan Wakil Kepala Staf adalah Soebianto Djoyohadikusumo.

Mr. Kasman juga diangkat sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang secara resmi terbentuk pada 29 Agustus 1945. Bahkan Mr. Kasman Singodimedjo juga terpilih sebagai Ketua KNIP, parlemen pertama di Indonesia. Selain itu, terpilih sebagai Wakil Ketua I adalah Mr. Sutardjo Kartohadikusumo, Wakil Ketua III adalah Mr. J. Latuharhary, serta Wakil ketua III adalah Adam Malik.

Peran dan kiprah selanjutnya adalah diangkat menjadi Jaksa Agung pada 1945 – 1946 menggantikan Gatot Taroenamihardja. Pada ketika menjabat sebagai menjadi Jaksa Agung, Kasman mengeluarkan Maklumat Jaksa Agung No. 3 tanggal 15 Januari 1946. Maklumat tersebut ditujukan kepada para Gubernur, Jaksa, dan Kepala Polisi tentang ajakan untuk membuktikan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara hukum, yaitu negara yg selalu menyelenggarakan pengadilan yg cepat dan tepat. Dianjurkan pula untuk langsung menyelesaikan masalah-kasus kriminal yang belum diselesaikan. Polisi dan Jaksa dituntut untuk terus menyelaraskan diri dengan pembangunan negara yg berdasarkan hukum dengan bantuan para hakim. Jaksa Agung Mr. Kasman Singodimedjo digantikan oleh Tirtawinata pada 1946.

Selanjutnya Mr. Kasman Singodimedjo aktif dalam dunia politik Indonesia bersama Partai Masyumi. Dalam struktur pemerintahan, Mr. Kasman pernah menjabat sebagai Menteri Muda Kehakiman pada Kabinet Amir Sjarifuddin II, merupakan akan 11 November 1947 hingga 29 Januari 1948. Pada ketika itu yang menjabat sebagai Menteri Kehakiman adalah Susanto Tirtoprodjo.

***

Pada pemilihan umum buat memilih anggota Dewan Konstituante, 29 September 1955, Mr. Kasman Singodimedjo terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante dari Partai Masyumi. Pada persidangan-persidangan Dewan Konstituante ini Mr. Kasman Singodimedjo mewarnai perdebatan pembentukan UUD terutama mewakili fraksi yg menghendaki Islam sebagai dasar negara.

Dalam persidangan Konstitante, Mr. Kasman mengemukakan bahwa bagi menyelesaikan persoalan perbedaan mengenai dasar negara terdapat dua cara yang bisa ditempuh, yaitu dengan cara kompromi dan dengan cara membanding. Mr. Kasman, dan fraksi pendukung Islam lainnya, tak menyetujui apabila masalah dasar negara diselesaikan dengan cara kompromi karena dasar negara dipandang sebagai hal yang sangat utama. Oleh karena itu cara yg dipilih adalah membanding pilihan-pilihan dasar negara tersebut, mana yang paling baik dan benar yang seharusnya dipilih.

Mr. Kasman Singodimedjo mendukung Islam sebagai dasar negara berdasarkan alasan-alasan yang bersifat universal, dan alasan-alasan dialektis Indonesia. Alasan-alasan universal dimaksudkan sebagai pengakuan terhadap kedaulatan hukum Tuhan yang termanifestasikan dalam ajaran agama. Sedangkan alasan dialektis Indonesia adalah pengakuan bahwa agama di Indonesia yang kuantitatif dan kualitatif berpengaruh di Indonesia adalah Islam. Islam adalah faktor nasional Indonesia yg utama dan yg menguasai psyche Indonesia.

Untuk menunjukkan sisi universal Islam, Kasman mengutip firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13; “Hai kamu manusia, sesungguhnya Aku sudah menjadikan kamu sekalian dari seorang lelaki dan perempuan, dan telah Ku jadikan kamu menjadi kaum-kaum dan keluarga-keluarga, supaya kamu antara yang satu dengan yang yang lain akan kenal-mengenal dan harga menghargai. Sesungguhnya bagi Allah yang amat terpandang tinggi diantaramu itu ialah siapa saja yg memperhatikan (mulai kewajibannya) dengan setertib-tertibnya. Sesungguhnya Allah itu yg mengetahui (mulai semua yang menjadi kehendaknya)”.

Berdasarkan firman Allah tersebut, Mr. Kasman menyatakan bahwa Islam meletakkan dasar hidup berbangsa atas dasar prinsip saling menghargai. Islam membersihkan kehidupan dunia dari prinsip chauvinisme dan rasialisme sehingga perdamaian dapat terpelihara. Dengan demikian Islam menjamin hak asasi manusia seimbang dengan penuaian kewajiban asasi. Islam menjunjung tinggi nilai perikemanusiaan dengan penuh tanggungjawab baik terhadap diri sendiri, masyarakat, bangsa, dan seluruh umat manusia di dunia.

Selain itu, Mr. Kasman juga menguraikan enam alasan Islam sebagai dasar negara Indonesia, yaitu (1) Islam mewajibkan demokrasi berdasarkan musyawarah yg mendudukkan kebenaran dan hak; (2) Islam mewajibkan pemimpin rakyat, pemimpin negara dan pemimpin pemerintahan penuh tanggung jawab kepada rakyatdan kepada Tuhan; (3) Islam menegakkan kemerdekaan lahir dan batin, menolak penjajahan, penindasan atau eksploitasi manusia atas manusia lain dalam bentuk apapun; (4) Islam memberantas kemelaratan dan menegakkan kemakmuran lahir dan batin atas dasar hidup keragaman antara golongan dan golongan (kelas); (5) Islam mewajibkan menunaikan fardhu kifayah disamping menunaikan fardhu ‘ain sehingga tak boleh ada egoisme yg tamak atau bakhil. Kekayaan punya perseorangan tak terlepas dari fungsi sosial sehingga ada pemerataan; dan (6) Islam memberikan penilaian yg sama antara kaum wanita dan kaum pria.

***

Pembahasan dasar negara dalam Dewan Konstituante yg belum juga dapat membuahkan hasil hingga 1959, ditambah dengan keadaan politik yang tidak stabil akibat terjadinya beberapa pemberontakan mendorong pemerintah mengusulkan kembali pada UUD 1945. Presiden bersama dengan kabinet menetapkan penerapan demokrasi terpimpin buat menjaga stabilitas nasional. Pada 2 Maret 1959 setelah pertemuan kabinet yang memutuskan mengenai Demokrasi Terpimpin, Perdana Menteri Djuanda memberi informasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat tentang pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD 1945 yang digagas oleh Kepala Negara Soekarno. Gagasan Kepala Negara Soekarno untuk kembali ke UUD 1945 itu disampaikan juga dalam sidang Dewan Konstituante di Bandung pada 22 April 1955 melalui amanat Kepala Negara. Hal itu menjadi bahan perdebatan di kalangan anggota Dewan Konstituante, terutama mengenai prosedur kembali ke UUD 1945. Sebagian berpendapat agar kembali ke UUD 1945 dikerjakan tanpa amendemen, sebagian lainnya meminta dikerjakan amendemen. Perdebatan tersebut tak menemukan titik temu hingga tiga kali masa sidang.

Kondisi dalam Dewan Konstituante tersebut dipandang oleh Presiden telah mengalami kebuntuan. Untuk mengatasi hal tersebut Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Melalui dekrit, Presiden selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang memutuskan pembubaran Konstituante, memberlakukan kembali UUD 1945, dan membentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS). Dekrit ini kemudian dikukuhkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat secara aklamasi pada 22 Juli 1959.

Dengan dimulainya era demokrasi terpimpin, keadaan politik dan pemerintahan mengalami pergeseran. Demokrasi terpimpin yg secara konseptual dimaksudkan sebagai pelaksanaan demokrasi yg dipimpin oleh kebijaksanaan demi kepentingan bangsa dan negara, menjadi demokrasi yg segalanya ditentukan oleh pemimpin. Dengan demikian, demokrasi menjadi kehilangan eksistensinya dikalahkan oleh kepemimpinan yg cenderung otoriter.

Kondisi demokrasi terpimpin tersebut juga mampu dilihat dari kehidupan partai politik yg pada saat itu telah akan dibatasi. Pada tanggal 13 Desember 1959, dikeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian yg kemudian diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960. Sebagai tindak lanjut dari Perpres tersebut, dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 1959 tentang Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-partai yang diikuti dengan Keputusan Kepala Negara (Keppres) Nomor 128 Tahun 1961 mengenai Pengakuan Partai-partai yang Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang diakui adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba, PSII, dan IPKI. Selain itu juga dikeluarkan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 mengenai penolakan Pengakuan Partai-partai yg Memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960. Partai-partai yang ditolak pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa Daeng Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo. Di samping itu melalui Keppres 440 Tahun 1961 diakui pula partai-partai politik, antara yang lain Partai Kristen Indonesia (Parkindo) dan Persatuan Tarbiyah Islam (Perti).

Pimpinan Masyumi dan PSI, pada 21 Juli 1960 dipanggil oleh Presiden Soekarno dan diberikan daftar pertanyaan yang harus dijawab oleh mereka dalam jangka waktu satu pekan. Namun karena jawaban yang diberikan tak memuaskan, pada 17 Agustus 1960 diterbitkan Keppres Nomor 200/1960 dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang ditujukan kepada kedua partai tersebut agar dalam jangka waktu 30 hari membubarkan diri. Jika hal itu tidak dipenuhi, maka partai tersebut akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Akhirnya pimpinan Masyumi dan PSI membubarkan partai mereka. Upaya pembubaran Masyumi ini terkait dengan adanya pemberontakan PRRI Permesta yang oleh banyak pihak diduga mendapatkan dukungan dari Partai Masyumi dan PSI.

Pembubaran Masyumi menjadi salah sesuatu wujud pertentangan antara pemerintahan demokrasi terpimpin dengan kelompok Islam Politik yang saat itu direpresentasikan oleh partai Masyumi. Pertentangan tersebut juga berakibat pada penangkapan tokoh-tokoh Islam yang dianggap kontra revolusi.

Pada 9 November 1963, Mr. Kasman dipanggil menghadap Komandan Korps Intelejen di Kantor Polisi Komisariat Jakarta Raya. Namun pemanggilan tersebut ternyata segera diikuti dengan penahanan. Pada 16 November 1963, penahanan Mr. Kasman Singodimedjo dipindahkan ke Ciloto, Cianjur, tepatnya di kompleks sekolah kepolisian Sukabumi bersama-sama dengan Hamka dan Ghazali Syahlan. Dakwaan yg ditujukan kepada Mr. Kasman Singodimedjo adalah melanggar Pasal 169 ayat (1), (2), dan (3) KUHP merupakan turut serta dalam perkumpulan dan perserikatan yang lain yg bermaksud melakukan kejahatan, yang dilarang undang-undang dan diancam hukuman penjara setinggi-tingginya enam tahun.

Penahanan kemudian dipindah ke penjara Bogor dan dituduh mengadakan rapat gelap di Desa Cilendek bersama KH Sholeh Iskandar. Tuduhan lain yg dikenakan kepadanya adalah sebagai ketua kelompok empat yang berniat membunuh Kepala Negara. Selain itu Mr. Kasman juga dituduh menyelewengkan Pancasila, merongrong kekuasaan negara dan mengajak orang buat memusuhi pemeritahan Soekarno. Mr. Kasman dituduh melanggar Penetapan Presiden No. 11 Tahun 1963 dan No. 5 tahun 1963. Akhirnya, dakwaan tersebut diputus pada 14 Agustus 1964 dengan hukuman penjara 8 tahun, yg pada tingkat banding berubah menjadi 2 tahun 6 bulan.
Setelah kekuasaan Soekarno runtuh dan digantikan oleh pemerintahan Orde Baru, tidak banyak lagi terdengar pemberitaan mengenai Mr. Kasman Singodimedjo. Namun beliau tetap aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Mr. Kasman Singodimedjo, meninggal pada 25 Oktober 1982.


Sumber:

Posting Komentar

© Suka Sejarah. All rights reserved. Developed by Jago Desain