Biografi Abdul Halim Majalengka - Pelopor Persatuan Ummat Islam (Pui)

Abdul Halim atau K.H. Abdul Halim, lebih dikenal dengan nama K.H. Abdul Halim Majalengka adalah seorang Pahlawan Nasional. Beliau juga merupakan seorang tokoh pergerakan nasional, tokoh organisasi Islam, dan ulama yg terkenal toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat antar ulama tradisional dan pembaharu (modernis).

 Beliau juga merupakan seorang tokoh pergerakan nasional Biografi Abdul Halim Majalengka - Pendiri Persatuan Ummat Islam (PUI)
K.H. Abdul Halim lahir di Desa Ciborelang, Jatiwangi, Majalengka, Kecamatan Jatiwangi, Majalengka, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, 26 Juni 1887. Kiai Abdul Halim putra K.H. Muhammad Iskandar, lahir dengan nama Otong Syatori. Ia merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara dari pasangan K.H. Muhammad Iskandar dan Hj. Siti Mutmainah.

Selain mengasuh pesantren, ayahnya juga seorang penghulu di Kawedanan, Jatiwangi, Majalengka. Sebagai anak yg dilahirkan di lingkungan keluarga pesantren, Kiai Halim sudah mendapat pendidikan agama sejak balita dari keluarganya maupun dari masyarakat sekitar. Ayahnya meninggal ketika Kiai Halim masih kecil, sehingga ia banyak diasuh oleh ibu dan kakak-kakaknya. Pada umur 21 tahun, Kiai Halim menikah dengan Siti Murbiyah puteri K.H. Muhammad Ilyas (Penghulu Landraad Majalengka). Pernikahan mereka dikaruniai tujuh orang anak.

Seorang di antara cucunya yang aktif di berbagai organisasi Islam seperti sebagai pengurus BP4 Pusat, Wanita PUI, BMOIWI (Badan Musyawarah Organisasi Islam Wanita Indonesia), GUPPI (Gerakan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam) adalah Dra. Hj. Dadah Cholidah, M.Pd.I. Presidium BMOIWI periode (2015-2016).


Pendidikan

Sejak kecil Kiai Halim tergolong anak yg gemar belajar. Terbukti ia banyak membaca ilmu-ilmu keislaman maupun ilmu-ilmu kemasyarakatan. Ketika berumur 10 tahun Kiai Halim belajar al-Qur'an dan Hadis kepada K.H. Anwar, yang sekaligus menjadi guru pertamanya di luar keluarganya sendiri. K.H. Anwar merupakan seorang ulama terkenal dari Ranji Wetan, Majalengka. Sebagai penggemar ilmu, Kiai Halim juga mempelajari disiplin ilmu lainnya, tak pandang apakah yg menjadi gurunya sealiran (Islam) ataupun tak, asalkan dapat bermanfaat buat perjuangannya kelak. Hal itu kelihatan ketika Kiai Halim belajar bahasa Belanda dan huruf latin kepada Van Hoeven, seorang pendeta dan misionaris di Cideres, Majalengka.

Ketika menginjak usia dewasa, Kiai Halim mulai belajar di berbagai Pondok Pesantren di wilayah Jawa Barat. Di antara pesantren yg pernah menjadi tempat belajar Kiai Halim adalah :
  • Pesantren Lontang jaya, Penjalinan, Leuwimunding, Majalengka, pimpinan Kiai Abdullah.
  • Pesantren Bobos, Kecamatan Sumber, Cirebon, Cirebon, asuhan Kiai Sujak.
  • Pesantren Ciwedus, Timbang, Kecamatan Cilimus, Kuningan, Kabupaten Kuningan, asuhan K.H. Ahmad Shobari.
  • Dan yang terakhir Abdul Halim berguru kepada K.H. Agus, Kedungwangi, Kenayangan, Pekalongan, sebelum akhirnya kembali memperdalam ilmunya di Pesantren Ciwedus, Cilimus, Kuningan, kabupaten Kuningan.
  • Di sela-sela kesibukannya belajar di pesantren, Kiai Halim menyempatkan dirinya untuk berdagang. Ia berjualan minyak wangi, batik, dan kitab-kitab pelajaran agama.

Belajar di Mekkah

Setelah banyak belajar di beberapa pesantren di Indonesia, Kiai Halim memutuskan buat pergi ke Mekkah buat melanjutkan mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di Mekah, Kiai Halim berguru kepada ulama-ulama besar di antaranya Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama asal Indonesia yang menetap di Mekah dan menjadi ulama besar sekaligus menjadi Imam di Masjidil Haram. Selama menuntut ilmu di Mekkah, Kiai Halim banyak bergaul dengan K.H. Mas Mansur yg kelak menjadi Ketua Umum Muhammadiyah dan K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang merupakan salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama dan Rais Am Syuriyah (Ketua Umum Dewan Syuro) Pengurus Besar organisasi tersebut setelah Kiai Hasjim Asy'ari meninggal pada tahun 1947. Kedekatan Kiai Halim terhadap kedua orang sahabatnya yg berbeda latar belakang antara pembaharu dan tradisional inilah yang membuatnya terkenal sebagai ulama yang amat toleran.

Selain belajar segera kepada Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Kiai Halim juga mempelajari kitab-kitab para ulama lainnya, seperti kitab karya Syeikh Muhammad Abduh, Syeikh Muhammad Rasyid Ridlo, dan ulama pembaharu lainnya. Selain itu Kiai Halim juga banyak membaca majalah al-Urwatul Wutsqo maupun al-Manar yang membahas mengenai pemikiran kedua ulama tersebut.


Pesantren Santi Asromo

Terdapat beberapa peninggalan K.H. Abdul Halim yg masih bertahan hingga hari ini, yaitu: pesantren Santi Asromo dan organisasi Persatuan Umat Islam (PUI) yg bergerak di bidang agama, pendidikan, sosial dan budaya. Santri Asromo yaitu pendidikan pesantren yg membekali siswa dengan keterampilan. “Belajar di Santi Asromo ada pandai besi, menyuling minyak kayu putih, bertani kopi dan lada serta beternak ayam, kambing dan ikan”, ujar Dadah Cholidah, cucu K.H. Abdul Halim dari putrinya Halimah Halim.

Sang kakek, menurut Dadah Cholidah, memberi pesan agar anak cucunya menjaga Santi Asromo itu. “Karena saat beliau mendirikan Santi Asromo penuh perjuangan dan ujian," ujar Dadah. Hingga kini bangunan Santi Asromo telah berkembang dan berdiri kokoh di atas tanah seluas 12 hektare dengan fasilitas pondok pesantren, Madrasah Ibtidaiyah PUI, SMP Prakarya dan SMA Prakarya.

Sekretaris Jenderal Persatuan Umat Islam (PUI) periode 2009 - 2014, Ahmadie Thaha menilai, model pendidikan Santri Asromo yang mengajarkan santri entrepreneurship melampaui zamannya. “Waktu itu ada mesin jahit dan percetakan. Jadi mampu dibayangkan zaman itu saja telah modern”, ujar Ahmadie.


Perserikatan Ulama Indonesia/ Persatuan Umat Islam

Setelah tiga tahun belajar di Mekkah, Kiai Halim kembali ke Indonesia buat mengajar. Pada tahun 1911, ia mendirikan lembaga pendidikan Majlis Ilmi di Majalengka untuk mendidik santri-santri di daerah tersebut. Setahun kemudian setelah lembaga pendidikan tersebut telah berkembang, Kiai Halim mendirikan sebuah organisasi yg bernama Hayatul Qulub, yang kemudian Majlis Ilmi menjadi bagian di dalamnya.

Hayatul Qulub (Hayat al-Qulub) yang didirikan tahun 1912 tersebut tak cuma bergerak di bidang pendidikan saja, melainkan juga masuk ke bidang perekonomian. Hal ini disebabkan Kiai Halim ingin memajukan lapangan pendidikan sekaligus perdagangan. Maka anggota organisasinya bukan saja dari kalangan santri, guru, dan kiai, tetapi juga para petani dan pedagang. Namun organisasi yang bergerak di bidang dagang tersebut tentu akan mempunyai saingan dagang, khususnya dengan pedagang Cina yang pada masa itu cenderung lebih berhasil di bidang perdagangan. Karena pemerintah Hindia Belanda lebih banyak membela kepentingan pedagang-pedagang Cina yg diberi status hukum lebih kuat dibanding kelompok pribumi.

Persaingan tersebut memuncak saat pemerintah Hindia Belanda menuduh organisasi Hayatul Qulub sebagai biang kerusuhan dalam peristiwa penyerangan toko-toko punya orang Cina yang terjadi di Majalengka pada tahun 1915. Akibatnya pemerintah Hindia Belanda membubarkan Hayatul Qulub dan melarang meneruskan semua kegiatannya. Setelah dibubarkannya organisasi tersebut, Kiai Halim menetapkan buat kembali ke Majlis Ilmi bagi tetap menjaga kepentingan perjuangan Islam, terutama dalam bidang pendidikan.

Pada tanggal 16 Mei 1916, Kiai Halim secara resmi mendirikan lembaga pendidikan baru yg ia beri nama Jam’iyah al-I’anat al-Muta’alimin. Forum pendidikan ini lebih baik dari sebelumnya, karena Kiai Halim menerapkan sistem klasikal dengan lama kursus lima tahun dan sistem koedukasi. Dan untuk yang sudah mencapai kelas tinggi mulai menerima pelajaran bahasa Arab. Setahun kemudian, HOS Cokroaminoto memberi dukungan terhadap lembaga pendidikan tersebut, yang akhirnya dikembangkan dan diubah namanya menjadi Perserikatan Ulama yang lebih dikenal dengan PUI (Perserikatan Ulama Indonesia). Perserikatan tersebut meemiliki panti asuhan, percetakan, dan sebuah pertenunan.

Sekalipun aktif dalam berbagai organisasi itu, Abdul Halim tetap mencurahkan perhatiannya untuk memajukan pendidikan. Hal itu diwujudkannya dengan mendirikan Santi Asromo pada tahun 1932. Dalam lembaga pendidikan ini, para murid tak cuma dibekali dengan pengetahuan agama dan pengetahuan umum, tapi juga dengan keterampilan sesuai dengan bakat anak didik, antara lain pertanian, pertukangan, dan kerajinan tangan.

Pada masa awal pendudukan Jepang, beberapa partai dan organisasi politik dibekukan. Organisasi keagamaan yg dibolehkan berdiri cuma Muhammadiyah dan Nahdlatul 'Ulama. PO pun di­bekukan. Namun, Abdul Halim tetap berusaha agar organisasi itu dihidupkan kembali. Barulah pada tahun 1944 usahanya berhasil, tetapi namanya diganti menjadi Perikatan Oemat Islam (POI). Kelak, pada tahun 1952, POI mengadakan fusi dengan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII) yg didirikan oleh K.H. Ahmad Sanusi menjadi Persatuan Umat Islam (PUI) dan Abdul Halim diangkat sebagai ketua pertamanya.

Persatuan Umat Islam (PUI) memiliki tujuan pokok antara yang lain:
  • Memajukan dan menyiarkan pengetahuan dan pengajaran agama Islam.
  • Memajukan perihal penghidupan yg didasarkan atas hukum Islam.
  • Memelihara tali percintaan dan persaudaraan yang kuat dan membangunkan hati supaya suka tolong menolong antara satu dengan lainnya.

PUI melakukan dua upaya bagi mewujudkan tujuannya tersebut, di antaranya adalah:
  • Mendirikan dan memelihara sekolah.
  • Menerbitkan, menyiarkan, dan menjual buku-buku (kitab-kitab), brosur, majalah, dan surat kabar yg berisi mengenai keislaman.
  • Meningkatkan pertanian, perdagangan dan perekonomian lainnya.
  • Mendidik pemuda sebagai kader muslim masa mendatang.
  • Bekerja sama dengan perkumpulan-perkumpulan muslim lainnya demi memajukan Agama Islam.

Pergerakan Nasional

Pada masa pendudukan Jepang, Abdul Halim diangkat menjadi anggota Cuo Sangi In (semacam dewan perwakilan). Pada bulan Mei 1945, ia diangkat menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyiapkan seluruh satu yg berhubungan dengan pembentukan negara. Dalam BPUPKI ini Abdul Halim duduk sebagai anggota Panitia Pembelaan Negara.

Sesudah Republik Indonesia berdiri, Abdul Halim diangkat sebagai anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (PB KNID) Cirebon. Selanjutnya ia aktif membantu perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada waktu Belanda melancarkan agresi militer kedua yg dimulai tanggal 19 Desember 1948, Abdul Halim aktif menolong kebutuhan logistik buat pasukan TNI dan para gerilyawan. Residen Cirebon juga mengangkatnya menjadi Bupati Majalengka.

Pada 1928, ia diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan K.H.M Anwaruddin dari Rembang dan K.H. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. Ia juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yg didirikan pada 1937 di Surabaya.

Sesudah perang kemerdekaan berakhir, Abdul Halim tetap aktif dalam organisasi keagamaan dan membina Santi Asromo. Namun, seba­gai ulama yang berwawasan kebangsaan dan persatuan, ia menentang gerakan Darul Islam pimpinan Kartosuwiryo, walaupun ia tinggal di daerah yang dikuasai oleh Darul Islam. la juga yaitu salah seorang tokoh yang menuntut pembubaran Negara Pasundan ciptaan Belanda.

Dalam periode tahun 1950-an Abdul Halim pernah menjadi anggota DPR Daerah Jawa Barat dan kemudian menjadi anggota Konstituante.


Meninggalnya

K.H. Abdul Halim Ulama besar tanah Pasundan ini menghadap Ilahi 7 Mei 1962 dan dikebumikan di Majalengka dalam usia 74 tahun. “Meninggalkan harta bendanya diwakafkan bagi madrasah dan institusi pendidikan. Bahkan rumah pribadinya diberikan bagi PUI”, ujar Dadah.


Penghargaan

Atas jasa-jasanya Pemerintah Republik Indonesia, Kepala Negara Susilo Bambang Yudoyono menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Kepala Negara Republik Indonesia Nomor : 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008.

Posting Komentar

© Suka Sejarah. All rights reserved. Developed by Jago Desain