Biografi Abdurrahman Baswedan (A.R. Baswedan) - Pahlawan Nasional, Kakek Anies Baswedan
Abdurrahman Baswedan atau lebih populer dengan nama A.R. Baswedan (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 9 September 1908 – meninggal di Jakarta, 16 Maret 1986 pada umur 77 tahun) adalah seorang pahlawan nasional. Gelar tersebut diberikan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2018 bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November.
Semasa hidupnya, dia dikenal sebagai seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, muballigh, dan juga sastrawan Indonesia. A.R. Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante. A.R. Baswedan adalah salah sesuatu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama buat eksistensi Republik Indonesia dari Mesir.
Selain berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia, A.R. Baswedan juga menguasai Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Belanda dengan fasih.
A.R. Baswedan adalah seorang pemberontak pada zamannya. Pada masa-masa revolusi, A.R. Baswedan berperan utama menyiapkan gerakan pemuda peranakan Arab bagi berperang melawan Belanda. Mereka yg terpilih mulai dilatih dengan semi militer di barak-barak. Mereka dipersiapkan secara fisik buat bertempur. A.R. Baswedan sendiri pernah ditahan pada masa pendudukan Jepang (1942).
Saat Indonesia merdeka, ia mengorbankan keselamatan dirinya saat membawa dokumen pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Mesir pada 1948. Dia mendapatkan gangguan dan hambatan tidak sedikit dalam menjaga dokumen ini. Tapi, berkat kelihaian dan kenekatannya, dengan menaruhnya di kaos kaki, dokumen utama dari Mesir itu dapat selamat dan Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka secara penuh, secara de jure dan de facto.
A.R. Baswedan adalah seorang otodidak. Dia mempelajari banyak hal secara mandiri, terutama kemampuan menulisnya. Tapi, dia mendapatkan dunia jurnalisme terbuka lebar setelah bertemu wartawan pertama dari keturunan Arab di Hindia Belanda, Salim Maskati, yang di kemudian hari menolong A.R. Baswedan dengan menjadi Sekertaris Jenderal PAI.
Sebagai wartawan pejuang, A.R. Baswedan produktif menulis. Saat era revolusi, tulisan-tulisan A.R. kerap tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia dengan nada positif dan optimis, sebagaimana terekam dalam buku The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945 karya Harry J. Benda.
Suratmin dan Didi Kwartanada merangkum perjalanan AR dalam dunia jurnalistik sebagai berikut:
Jalan politik A.R. Baswedan dimulai ketika menjadi ketua PAI. PAI memperjuangkan penyatuan penuh keturunan Arab dengan masyarakat Indonesia dan terlibat aktif dalam perjuangan bangsa. PAI mendapatkan banyak kritikan dan cercaan dari sana-sini atas cita-citanya.
Menjelang Indonesia merdeka, A.R. Baswedan ikut menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di sinilah A.R. bersama para pendiri bangsa lainnya terlibat aktif menyusun UUD 1945. Setelah Indonesia merdeka, A.R. Baswedan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Perjuangan A.R. Baswedan berlanjut di republik baru. Bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Rasyidi (Sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir dan St. Pamuncak, A.R. Baswedan (Menteri Muda Penerangan) menjadi delegasi diplomatik pertama yg dibentuk oleh negara baru merdeka ini. Mereka melobi para pemimpin negara-negara Arab. Perjuangan ini berhasil meraih pengakuan pertama atas eksistensi Republik Indonesia secara de facto dan de jure oleh Mesir. Lobi panjang melalui Liga Arab dan di Mesir itu menjadi tonggak pertama keberhasilan diplomasi yg diikuti oleh pengakuan negara-negara yang lain terhadap Indonesia, sebuah republik baru di Asia Tenggara.
Pada 1950-an, A.R. Baswedan bergabung dalam Partai Masyumi. A.R. Baswedan menjadi pejabat teras partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia itu. Deliar Noer menyimpulkan bahwa A.R. Baswedan termasuk dalam kelompok pendukung Moh. Natsir dalam Masyumi.
Muballigh
Saat bersekolah di Hadramaut School di Surabaya, A.R. Baswedan berkenalan dengan KH. Mas Mansoer, imam dan khatib Masjid Ampel, Surabaya. KH. Mas Mansoer pernah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya. Dari perkenalan itu A.R. Baswedan sering diminta KH Mas Mansoer buat ikut berdakwah ke berbagai daerah. Berkat kegiatan ini, komitmen keislaman mengental dan kemampuan pidato A.R. Baswedan terasah dengan baik; pada gilirannya kemampuannya ini sangat membantunya ketika ia berkeliling ke berbagai daerah dan menyampaikan kampanye mengenai PAI.
Selain berpidato, A.R. Baswedan juga berdakwah melalui tulisan-tulisannya yg tersebar di berbagai majalah dan koran Islam. Ia mengasuh kolom Mercusuana di harian milik Muhammadiyah, Mercusuar (di kemudian hari berubah namanya menjadi Masa kini). Pada akhir 40-an sampai akhir 50-an A.R. Baswedan menjadi pemimpin redaksi Majalah Hikmah, sebuah mingguan Islam popular. Dalam dewan redaksi, selain A.R. Baswedan, juga terdapat Moh. Natsir dan Buya Hamka. Para penulis majalah ini adalah tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti Sjafruddin Prawiranegara.
Dalam bidang dakwah, A.R. Baswedan juga menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) Cabang Yogyakarta. Bahkan, dia menjadi pelindung dan rumahnya di Tamah Yuwono menjadi tempat berteduh bagi mahasiswa atau seniman Islam yang tergabung dalam Teater Muslim.
Karya
Tulisan-tulisan A.R. Baswedan tersebar di banyak media. Tapi sayang, tidak segala tulisannya sempat terkumpulkan dan diterbitkan secara kronologis. Berikut ini sebagian karya A.R. Baswedan yg sempat dikumpulkan dan dicetak:
Wafat
A.R. Baswedan menyelesaikan naskah autobiografinya di Jakarta pada akhir bulan Februari 1986. Sekitar 2 pekan kemudian, keadaan kesehatan A.R. Baswedan menurun dan meninggal. A.R. Baswedan dimakamkan di TPU Tanah Kusir berdampingan dengan para pejuang Indonesia yg menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
A.R. Baswedan menikah dengan Sjaichun. Pada tahun 1948 Sjaichun meninggal dunia di Kota Surakarta karena serangan malaria. Tahun 1950 A.R. Baswedan menikah lagi dengan Barkah Ganis, seorang tokoh pergerakan perempuan, di rumah KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Muhammad Natsir bertindak sebagai wali dan menikahkan mereka. Dia dikarunia 11 anak dan 45 cucu.
Baswedan sangat sederhana dan tidak pernah memikirkan harta material. Sampai akhir hayatnya A.R. Baswedan tidak memiliki rumah. Dia dan keluarga menempati rumah pinjaman di dalam kompleks Taman Yuwono di Yogyakarta, sebuah kompleks perumahan yang dipinjamkan oleh Haji Bilal bagi para pejuang revolusi ketika Ibukota di RI berada di Yogyakarta. Mobil yang dimilikinya adalah hadiah ulang tahun ke 72 dari sahabatnya Adam Malik, saat menjabat Wakil Kepala Negara.
Cucunya, Anies Baswedan adalah Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia pada Kabinet Kerja di era Presiden Joko Widodo di tahun 2014 hingga 2016. Pada 15 Oktober 2017 Anies dilantik menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk periode 2017-2022. Cucu A.R. Baswedan lainnya adalah penyidik antirasuah yg tangguh, Novel Baswedan.
Gelar Pahlawan Nasional
Kepala Negara RI Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada enam tokoh. Salah satunya adalah kakek dari Gubernur jakarta Anies Baswedan, Abdurrahman Baswedan alias AR Baswedan.
Keputusan penganugerahan gelar tersebut termaktub dalam Keputusan Kepala Negara Nomor 123/TK/2018. Keputusan itu ditandatangani Jokowi pada 6 November 2018 dengan pedoman Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Sumber artikel: id.wikipedia.org
Semasa hidupnya, dia dikenal sebagai seorang nasionalis, jurnalis, pejuang kemerdekaan Indonesia, diplomat, muballigh, dan juga sastrawan Indonesia. A.R. Baswedan pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wakil Menteri Muda Penerangan RI pada Kabinet Sjahrir, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen, dan Anggota Dewan Konstituante. A.R. Baswedan adalah salah sesuatu diplomat pertama Indonesia dan berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama buat eksistensi Republik Indonesia dari Mesir.
Selain berbicara dan menulis dalam bahasa Indonesia, A.R. Baswedan juga menguasai Bahasa Arab, Bahasa Inggris, dan Bahasa Belanda dengan fasih.
A.R. Baswedan adalah seorang pemberontak pada zamannya. Pada masa-masa revolusi, A.R. Baswedan berperan utama menyiapkan gerakan pemuda peranakan Arab bagi berperang melawan Belanda. Mereka yg terpilih mulai dilatih dengan semi militer di barak-barak. Mereka dipersiapkan secara fisik buat bertempur. A.R. Baswedan sendiri pernah ditahan pada masa pendudukan Jepang (1942).
Saat Indonesia merdeka, ia mengorbankan keselamatan dirinya saat membawa dokumen pengakuan kemerdekaan Indonesia dari Mesir pada 1948. Dia mendapatkan gangguan dan hambatan tidak sedikit dalam menjaga dokumen ini. Tapi, berkat kelihaian dan kenekatannya, dengan menaruhnya di kaos kaki, dokumen utama dari Mesir itu dapat selamat dan Indonesia mendapatkan pengakuan sebagai negara merdeka secara penuh, secara de jure dan de facto.
A.R. Baswedan adalah seorang otodidak. Dia mempelajari banyak hal secara mandiri, terutama kemampuan menulisnya. Tapi, dia mendapatkan dunia jurnalisme terbuka lebar setelah bertemu wartawan pertama dari keturunan Arab di Hindia Belanda, Salim Maskati, yang di kemudian hari menolong A.R. Baswedan dengan menjadi Sekertaris Jenderal PAI.
Sebagai wartawan pejuang, A.R. Baswedan produktif menulis. Saat era revolusi, tulisan-tulisan A.R. kerap tampil di media-media propaganda kebangsaan Indonesia dengan nada positif dan optimis, sebagaimana terekam dalam buku The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam Under the Japanese Occupation, 1942-1945 karya Harry J. Benda.
Suratmin dan Didi Kwartanada merangkum perjalanan AR dalam dunia jurnalistik sebagai berikut:
- Redaktur Harian Sin Tit Po di Surabaya (1932).
- Redaktur Harian Soeara Oemoem di Surabaya yg dipimpin dr. Soetomo (1933).
- Redaktur Harian Matahari, Semarang (1934).
- Penerbit dan Pemimpin Majalah Sadar.
- Pemimpin Redaksi Majalah internal PAI, Aliran Baroe (1935-1939).
- Penerbit dan Pemimpin Majalah Nusaputra di Yogyakarta (1950-an).
- Pemimpin Redaksi Majalah Hikmah.
- Pembantu Harian Mercusuar, Yogyakarta (1973).
- Penasihat Redaksi Harian Masa Kini, Yogyakarta (70-an).
Jalan politik A.R. Baswedan dimulai ketika menjadi ketua PAI. PAI memperjuangkan penyatuan penuh keturunan Arab dengan masyarakat Indonesia dan terlibat aktif dalam perjuangan bangsa. PAI mendapatkan banyak kritikan dan cercaan dari sana-sini atas cita-citanya.
Menjelang Indonesia merdeka, A.R. Baswedan ikut menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), di sinilah A.R. bersama para pendiri bangsa lainnya terlibat aktif menyusun UUD 1945. Setelah Indonesia merdeka, A.R. Baswedan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).
Perjuangan A.R. Baswedan berlanjut di republik baru. Bersama dengan Haji Agus Salim (Menteri Muda Luar Negeri), Rasyidi (Sekjen Kementrian Agama), Muhammad Natsir dan St. Pamuncak, A.R. Baswedan (Menteri Muda Penerangan) menjadi delegasi diplomatik pertama yg dibentuk oleh negara baru merdeka ini. Mereka melobi para pemimpin negara-negara Arab. Perjuangan ini berhasil meraih pengakuan pertama atas eksistensi Republik Indonesia secara de facto dan de jure oleh Mesir. Lobi panjang melalui Liga Arab dan di Mesir itu menjadi tonggak pertama keberhasilan diplomasi yg diikuti oleh pengakuan negara-negara yang lain terhadap Indonesia, sebuah republik baru di Asia Tenggara.
Pada 1950-an, A.R. Baswedan bergabung dalam Partai Masyumi. A.R. Baswedan menjadi pejabat teras partai Islam terbesar dalam sejarah Indonesia itu. Deliar Noer menyimpulkan bahwa A.R. Baswedan termasuk dalam kelompok pendukung Moh. Natsir dalam Masyumi.
Muballigh
Saat bersekolah di Hadramaut School di Surabaya, A.R. Baswedan berkenalan dengan KH. Mas Mansoer, imam dan khatib Masjid Ampel, Surabaya. KH. Mas Mansoer pernah menjadi Ketua Cabang Muhammadiyah Surabaya. Dari perkenalan itu A.R. Baswedan sering diminta KH Mas Mansoer buat ikut berdakwah ke berbagai daerah. Berkat kegiatan ini, komitmen keislaman mengental dan kemampuan pidato A.R. Baswedan terasah dengan baik; pada gilirannya kemampuannya ini sangat membantunya ketika ia berkeliling ke berbagai daerah dan menyampaikan kampanye mengenai PAI.
Selain berpidato, A.R. Baswedan juga berdakwah melalui tulisan-tulisannya yg tersebar di berbagai majalah dan koran Islam. Ia mengasuh kolom Mercusuana di harian milik Muhammadiyah, Mercusuar (di kemudian hari berubah namanya menjadi Masa kini). Pada akhir 40-an sampai akhir 50-an A.R. Baswedan menjadi pemimpin redaksi Majalah Hikmah, sebuah mingguan Islam popular. Dalam dewan redaksi, selain A.R. Baswedan, juga terdapat Moh. Natsir dan Buya Hamka. Para penulis majalah ini adalah tokoh-tokoh Islam terkemuka, seperti Sjafruddin Prawiranegara.
Dalam bidang dakwah, A.R. Baswedan juga menjadi ketua Dewan Dakwah Islamiyah (DDI) Cabang Yogyakarta. Bahkan, dia menjadi pelindung dan rumahnya di Tamah Yuwono menjadi tempat berteduh bagi mahasiswa atau seniman Islam yang tergabung dalam Teater Muslim.
Karya
Tulisan-tulisan A.R. Baswedan tersebar di banyak media. Tapi sayang, tidak segala tulisannya sempat terkumpulkan dan diterbitkan secara kronologis. Berikut ini sebagian karya A.R. Baswedan yg sempat dikumpulkan dan dicetak:
- Debat Sekeliling PAI (tahun 1939)
- Beberapa Catatan mengenai Sumpah Pemuda Indonesia Keturunan Arab (1974)
- Buah Pikiran dan Cita-cita AR Baswedan (diterbitkan Sekjen PAI, Salim Maskati).
- Menuju Masyarakat Baru, sebuah cerita Toneel dalam 5 Bagian.
- Rumah Tangga Rasulullah diterbitkan Bulan Bintang pada 1940 (Shalahuddin Press menerbitkan ulang buku ini pada 1980-an; pada 2018 ini Qafmedia menerbitkan kembali buku ini atas permintaan pembaca yg kangen dengan buku ini dan kebutuhan khalayak ketika ini atas bacaan berkualitas tentang Nabi Muhammad saw.).
- AR Baswedan: Revolusi Batin Sang Perintis [2016] (buku ini dikumpulkan dan disunting Nabiel A. Karim Hayaze dan berisi tulisan terpilih A.R. Baswedan dan mengenai A.R. Baswedan dari peneliti).
Wafat
A.R. Baswedan menyelesaikan naskah autobiografinya di Jakarta pada akhir bulan Februari 1986. Sekitar 2 pekan kemudian, keadaan kesehatan A.R. Baswedan menurun dan meninggal. A.R. Baswedan dimakamkan di TPU Tanah Kusir berdampingan dengan para pejuang Indonesia yg menolak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.
A.R. Baswedan menikah dengan Sjaichun. Pada tahun 1948 Sjaichun meninggal dunia di Kota Surakarta karena serangan malaria. Tahun 1950 A.R. Baswedan menikah lagi dengan Barkah Ganis, seorang tokoh pergerakan perempuan, di rumah KH Ahmad Dahlan di Yogyakarta, Muhammad Natsir bertindak sebagai wali dan menikahkan mereka. Dia dikarunia 11 anak dan 45 cucu.
Baswedan sangat sederhana dan tidak pernah memikirkan harta material. Sampai akhir hayatnya A.R. Baswedan tidak memiliki rumah. Dia dan keluarga menempati rumah pinjaman di dalam kompleks Taman Yuwono di Yogyakarta, sebuah kompleks perumahan yang dipinjamkan oleh Haji Bilal bagi para pejuang revolusi ketika Ibukota di RI berada di Yogyakarta. Mobil yang dimilikinya adalah hadiah ulang tahun ke 72 dari sahabatnya Adam Malik, saat menjabat Wakil Kepala Negara.
Cucunya, Anies Baswedan adalah Menteri Kebudayaan, Pendidikan Dasar dan Menengah Republik Indonesia pada Kabinet Kerja di era Presiden Joko Widodo di tahun 2014 hingga 2016. Pada 15 Oktober 2017 Anies dilantik menjadi Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk periode 2017-2022. Cucu A.R. Baswedan lainnya adalah penyidik antirasuah yg tangguh, Novel Baswedan.
Gelar Pahlawan Nasional
Kepala Negara RI Joko Widodo (Jokowi) menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada enam tokoh. Salah satunya adalah kakek dari Gubernur jakarta Anies Baswedan, Abdurrahman Baswedan alias AR Baswedan.
Keputusan penganugerahan gelar tersebut termaktub dalam Keputusan Kepala Negara Nomor 123/TK/2018. Keputusan itu ditandatangani Jokowi pada 6 November 2018 dengan pedoman Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
Sumber artikel: id.wikipedia.org
Gabung dalam percakapan